Gunung Pancar: Trees are sanctuaries



Minggu terakhir bulan Januari 2024. Bobi dengan setia duduk tenang di kursi co-pilot. Sesekali memandang keluar menikmati hujan sepanjang perjalanan kami dari Jakarta. Mendekati keluaran tol, cuaca semakin terang. Pepohonan dan jalanan yang basah terguyur hujan membuat Sentul terasa sangat sejuk. Saya mematikan AC dan membuka hampir seluruh jendela mobil. Bobi kegirangan dengan bulu-bulu kecilnya yang terbelai angin dari luar.

Januari 2024. Perjalanan menuju Gunung Pancar bersama Bobi

Setelah melewati Jungle Land Sentul, jalanan mulai mengecil dan menanjak. Untuk beberapa spot, akan agak sukar jika dua mobil besar berpapasan. Ini bukan kali pertama kami ke Gunung Pancar Sentul, sehingga kami sudah cukup fasih terhadap kondisi jalanan ini. 

Sesampainya di Gerbang Gunung Pancar, kami bertegur sapa dengan sekuriti dan langsung menuju kantor untuk mengurus administrasi. Saya memesan Paket Ceria untuk delapan orang. Tiket seharga 160.000/orang/malam dengan fasilitas tenda, matras, sleeping bag, listrik, lampu penerangan kawasan, tiket masuk orang, tiket masuk kendaraan,Api unggun, dan toilet. Tidak lama, petugas menuntun kami menuju area kemping Lembah Pakis. Jalanan sudah semakin aman dan nyaman untuk mobil city car  yang saya bawa saat ini. Di tahun 2020 lalu, kali pertama kami berkunjung di Gunung Pancar, jalanan menuju Lembah pakis masih sangat menantang, saat terguyur hujan, jalanan sudah pasti bletokan, dan jangan ditanya lagi berapa kali kami selip ban. Utungnya para Ranger selalu sigap untuk membantu kami mendorong mobil yang tengah selip saat itu.

Api Unggun  malam hari di Gunung Pancar


Di area kemping, tenda kami sudah disiapkan berikut kayu-kayu api ungun yang dilindungi terpal. Aroma petrichor (aroma tanah yang dihasilkan ketika hujan turun di tanah kering) dan semampainya pinus-pinus menyambut kami. Bobi keluar berlarian tidak mempedulikan betapa beceknya tanah yang ia injak. Singkat cerita, tujuh kawan lain akhirnya sampai dan kami berkumpul bersama disini. Hingga larut, kami bercengkrama ditemani api unggun. Suara jangkrik, hembusan angin dan gesekan ranting cukup mendominasi, meskipun sesekali suara gelak tawa dan musik dari tetangga cukup terdengar. (Kami sendiri juga ribut bergibah hingga dini hari! 😅)


Membuat Sketsa pohon-pohon pinus ditemani Bobi

Pagi hari benar, bersama Bobi, kami menelusuri hutan pinus. Dengan bekal air minum dan seperangkat alat sketsa, kami menemukan spot yang nyaman untuk menikmati pagi ini. Di atas batu yang cukup lebar, saya duduk dan mulai mengamati objek pinus yang akan dituangkan di atas kertas sketsa. Tiba-tiba terlintas sebuah kisah pendek klasik yang menarik mengenai topik pohon, “The Giving Tree” oleh Shel Silverstein. Pertama kali diterbitkan pada tahun 1964 oleh Harper & Row Publisher. Ilustrasi yang sederhana dan cerita pendek yang kuat sajian Shel Silverstein sangat berkesan bagi saya dan mungkin para pembaca lainnya. Saya menyakini bahwa setiap karya seni, baik itu berupa sastra maupun nirmana, makna sesungguhnya dari karya itu sendiri adalah milik penciptanya, the artist. Di sisi lain, ketika karya tersebut di publikasikan dan dinikmati oleh orang lain, makna dari karya seni tersebut sudah menjadi milik masing-masing penikmat seni tersebut. Tentunya akan banyak representasi berdasarkan latar belakang, seperti pengetahuan, kondisi politik, kedalaman dan bagaimana para penikmat ini dalam menerjemahkan sebuah karya seni. Seperti halnya saya yang menikmati karya sastra The Giving Tree, sebagai seorang yang awam dalam seni sastra, saya menerjemahkan karya Shel Silverstein ini sebagai unconditional love dari sebuah Pohon Apel kepada seorang anak laki-laki. Sang Pohon Apel dengan senang hati memberikan apapun yang dia bisa berikan kepada anak laki-laki tersebut. Dimulai dari keteduhan, ukiran inisial nama di batang tubuhnya, buah apel, ranting, hingga batang tubuhnya sendiri untuk membuat hidup anak laki-laki tersebut bahagia. Hingga diakhir cerita, anak laki-laki ini telah menjadi tua renta dan mengunjungi Sang Pohon Apel untuk terakhir kalinya. Sang Pohon Apel memohon maaf karena tidak memiliki apapun yang tersisa untuk diberikan. Anak laki-laki itu kemudian menginginkan tempat untuk beristirahat (dalam konteks ini saya mengartikan “beristirahat selamanya”), dan kemudian Sang  Pohon memberikan tunggulnya agar dia dapat beristirahat. Cerita ini ditutup dengan Sang Pohon yang berbahagia meskipun ia sendiri hanya tertinggal tunggul pohon saja. 

The Giving Tree by Shel Silverstein

Sungguh, tidak mudah bagi saya untuk memahami kasih sayang semacam ini. Tetapi, barangkali saya sendiri telah menjadi saksi dari banyaknya kisah serupa di dunia nyata. Sebagian besar kisah serupa saya temukan dari hubungan orangtua dan anak, meskipun tidak sedikit juga muncul dari hubungan romantis. Bagaimanapun, sebuah relasi idealnya adalah mutual. Meskipun cinta atau kasih tanpa syarat adalah hal yang luar biasa, kita bisa saja kehilangan diri sendiri karena fokus dan terlalu memprioritaskan kebahagian orang lain. Terlebih karakter anak-laki-laki di kisah ini yang cenderung narsis, egois dan tidak tau berterima kasih seakan mengoyak nilai keadilan di hati saya.

Terlepas dari pesan moral dari kisah ini, saya tertarik pada pilihan Shel Silverstein yang menyimbolkan sebuah pohon dengan anak-laki-laki untuk menjadi aktor utama dari kisah uniknya. Tentunya beliau tidak menggunakan aktor dua pasangan manusia karena ini tidak hanya berbicara mengenai kisah romansa. Meskipun saya tidak bisa menemukan jawaban di internet dari pertanyaan ini, lebih dari itu, saya menemukan sebuah kalimat menarik dari Herman Hesse, yang mungkin untuk saat ini cukup sebagai jawaban alternatif.


“Trees are sanctuaries. Whoever knows how to speak to them, whoever knows how to listen to them, can learn the truth

-- Herman Hesse , seorang penyair, novelis, dan pelukis Jerman-Swiss, penerima Hadiah Nobel Sastra tahun 1946.

 

 

Comments